Surabaya, batarapos.com – KH. Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah zaman kemerdekaan, yang juga Inspirator berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MAIA) yang bermetamorfosa menjadi MASYUMI.
KH. Mas Mansur berhasil melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi umat Islam dengan memprakarsai berdirinya MAIA, bersama Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU).
KH. Mas Mansur juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, KH. Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansur.
KH. Mas Mansur adalah sosok dalam Perjuangan dan Pemikiran, beliau termasuk dalam keluarga besar Sagipodin (Bani Gipo) yang dikenal memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, kedua cucu Sagipodin yakni KH. Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU, yang seorang dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sementara yang seorang lagi mendapat amanat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Pertama kali.
Satu lagi catatan penting yang jarang diungkapkan oleh media adalah Ihwal wafatnya KH. Mas Mansur dalam tahanan NICA pada tahun 1946, ternyata KH. Mas Mansur tidak mengalami penahanan biasa melainkan di eksekusi mati dengan disuntik darah kera, sehingga akhirnya wafat dalam tahanan pada tanggal 25 April 1946.
KH. Mas Mansur dengan kehalusan dakwah dan pribadinya yang sederhana begitu dihormati oleh Bung Karno. dalam beberapa suratnya di Pengasingan Bung Karno menanyakan beberapa soal-soal agama kepada KH. Mas Mansur, bahkan KH. Mas Mansur diminta secara khusus oleh Bung Karno untuk menjadi penghulu dan menikahkannya dengan Fatmawati. ( Badrut Tamam Gaffas, 2008/badruttamamgaffas.multiply.com ).
KH. Mas Mansur, ternyata berkerabat jauh dengan Raden Musaid “Seorang Pejuang Budaya,” yang juga seorang tokoh Muhammadiyah yang beri gelar “Werdisastro” oleh Sultan Sumenep.
Raden Musaid Werdisastro adalah Sastrawan Legendaris yang berjasa menulis Babad Sumenep, awalnya penulisan tersebut dimaksudkan sebagai upaya pelurusan sejarah terutama sejarah Islam di sumenep dalam bingkai dinamika hubungan antar etnik yang berlangsung damai. dalam babad itu digambarkan pula tumbuh kembang sebuah komunitas masyarakat berperadaban dan berperilaku elok yang disebut Bangselok.
Sebagai Budayawan dan Pejuang secara cerdik Raden Musaid berupaya mengobarkan semangat perjuangan anti penjajahan kolonial belanda melalui simbol dan kiasan yang banyak terdapat dalam babad yang dikarangnya, buku tersebut memang ditulis menggunakan Bahasa Madura dengan Aksara Jawa, sehingga praktis pihak belanda menjadi gagap dalam menangkap maksud rahasia sang penulis, sebaliknya pemerintah Hindia belanda melalui Sultan Sumenep memberikan apresiasi yang tinggi dan penghargaan kepada Raden Musaid berupa sejumlah gulden dan sebuah gelar “Werdisastro.”
Sejak itulah Raden Musaid dikenal sebagai Raden Musaid Werdisastro, ketika tarikh masehi menginjak 15 Pebruari 1914 Naskah Babad Sumenep tersebut naik cetak dan diterbitkan oleh Balai Pustaka sehingga anggapan Raden Musaid sebagai sastrawan lokal menjadi terbantahkan, Babad Sumenep menjadi sebuah naskah budaya yang memperkaya khazanah budaya dan sejarah bangsa.
Raden Musaid yang budayawan dan cendikiawan memiliki kedekatan dengan Kyai Haji Mas Mansur yang berdarah Sumenep, dalam berbagai biografi disebutkan bahwa KH. Mas Achmad Marzuki (ayahanda Mas Mansur) terhitung masih keturunan dari bangsawan Sumenep.
Sebagai ulama muda yang kharismatik KH. Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh sehingga memberi pengaruh yang luar biasa kepada pribadi Raden Musaid Werdisastro, beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat yang mengambil jarak atas gerakan dakwah, semangatnya justru meluap-luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh Mas Mansur yang berusaha menempatkan agama dan budaya secara proporsional tanpa mengesampingkan adat / budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah.
Raden Musaid Werdisastrlo menjadi penggerak pengembangan Muhammadiyah di Sumenep, beliau secara tegas menolak dikotomi NU-Muhammadiyah, menurutnya NU-Muhammadiyah atau Ormas keagamaan lainnya sama-sama bisa menjadi jembatan pergerakan berbasis keagamaan yang bisa mengantarkan umat menggapai pencerahan spiritual.
Dukungan untuk mengembangkan Muhammadiyah di Ujung timur Pulau Madura itu datang dari keluarga besarnya juga dari KH. Mas Mansur yang menjadi konsul Muhammadiyah Jawa Timur di Surabaya dan kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah (1937 – 1943).
KH. Abdul Kadir Muhammad Sosok Penerus Raden Musaid Werdisastro dan KH. Mas Masyur.
Sekilas profil Ustadz Hakam/KH. Abdul Kadir Muhammad, kakak yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sumenep yang sejuk dan ramah pada murid-muridnya.
Karena minimnya tenaga dakwah di Sumenep pada sekitar tahun tiga puluhan, maka Raden Musaid Werdisastro meminta bantuan kepada KH Mas Mansur yang segera dijawab dengan dikirimkannya beberapa tenaga dakwah yang salah satunya adalah KH. Abdul Kadir Muhammad (AKM), salah seorang murid sekaligus keponakan KH. Mas Mansur.
KH. Abdul Kadir Muhammad dibesarkan dalam lingkungan agamis yang pluralis, sang ayah KH. Mas Muhammad menitipkannya untuk dididik oleh adiknya yaitu KH. Mas Mansur sementara saudara KH Abdul Kadir Muhammad yang lain ada yang mendapatkan didikan langsung dari Hasan Gipo, Ketua Tanfidziah NU pertama.
Keluarga Besar Sagipodin (Bani Gipo) memang memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, Kedua Cucu Sagipodin yakni KH Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU.
Di Pulau Madura, KH Abdul Kadir Muhammad memulai berdakwah dari lingkungan keluarga besar Raden Musaid, keberadaannya cepat bisa diterima dan akrab disapa dengan sebutan “Ustadz”, beliau juga berdakwah di lingkungan Masjid Jamik Sumenep, demikianlah Ustadz Abdul Kadir Muhammad (Hakam) yang ber-etnis Jawa ternyata sangat memahami karakteristik orang madura dan terbukti fasih dalam berbahasa madura, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam komunitas yang berbahasa dan berbudaya Madura.
Untuk meneguhkan perjalanan dakwahnya di Sumenep maka Ustadz Hakam kemudian menikahi Raden Ayu Fatimatuz Zahro yang tak lain adalah cucu Raden Musaid Werdisastro dari Puterinya Raden Ayu Mariatul Kibtiyah.
Dalam menyikapi perbedaan corak keberagamaan Ustadz Hakam selalu menekankan pentingnya mencari persamaan serta memperkuat ukhuwah wathoniah diantara ummah. selain aktif berdakwah ustadz Hakam juga meniti karir dari bawah di lingkungan Departemen Agama, pada pertengahan tahun lima puluhan ditugaskan sebagai kepala Kantor Urusan Agama Maluku Tenggara.
Sekembalinya dari tanah Maluku, cita –citanya makin menguat untuk mengembangkan pendidikan yang berbasis agama, pada periode tahun enam puluhan beliau dipercaya untuk mengembangkan Pondok Pesantren Modern Panarukan dan mulai merintis pengembangan dakwah di pulau – pulau kecil di sekitar Madura.
Terakhir KH. Abdul Kadir Muhammad menjadi Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Modern Islam (YPPMI) Pulau Kangean dan terus berdakwah hingga akhir hayatnya.
Rangkuman dari sebuah jejak sejarah yang terpendam, dimana menjadi momen berkembangnya NU-Muhammadiyah di Jawa Timur, khususnya Sumenep Madura. (red/GD)