Liputan : Tim batarapos.com
Editor : Ida Lestari
Luwu Timur, batarapos.com – Masyarakat di Desa Mantadulu, kecamatan Angkona, kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pertanyakan letak dan status lahan yang kabarnya milik Desa.
Meski sudah lima kali pergantian Kepala Desa Mantadulu, dimulai dari jabatan kepala Desa pertama oleh Bachri Gali (Almarhum), selanjutnya kades kedua Wirta, kades ketiga I Wayan Suparta, kades ke empat Imelda dan Kades sekarang Anak Agung Made Ratmaja, namun lahan tersebut sampai saat ini belum diketahui status dan keberadaannya.
Lahan yang dimaksud adalah lahan rencana pembangunan Gereja dan Pura, kedua lahan ini letaknya pun tidak diketahui, bahkan menurut warga, kedua lahan ini dulunya pernah diungkapkan dalam suatu pertemuan namun hingga saat ini sudah tidak dibahas lagi.
Kemudian lahan berikutnya, berupa lahan kebun kelapa sawit yang kabarnya luasnya sekitar 10 hektare dan lahan persawahan sekitar 1,5 hektare, kedua lahan ini letaknya diketahui yang saat ini digarap oleh warga, namun luas lahan, kabarnya sudah berkurang dan status lahan juga tidak diketahui jelas, pasalnya kedua lahan ini digarap oleh warga dengan perjanjian kontrak dan bagi hasil.
” Awalnya itu lahan tidak terawat jadi saya yang rawat, saya biayai, jadi saya sampaikan ke Desa kalau ini saya ambil hasilnya dulu untuk kembalikan biaya saya, nah, berapa tahun lalu itu statusnya saya sudah kontrak, ada surat kontrak saya, uang kontraknya juga saya kasi ke Desa, bisa tanyakan ke Desa, luasnya juga hanya sekitar enam hektare,” Kata Agung Dalem dikonfirmasi via handphone, Minggu (22/10/2023).
Menanggapi pertanyaan warganya, Jus’i, selaku Sekdes Mantadulu mengakui jika memang dua lahan kebun dan sawah letaknya diketahui namun statusnya belum jelas, Sekdes berharap, agar persoalan ini bisa dibahas dalam suatu pertemuan melibatkan semua pihak yang berwenang, agar semua status dan letak lahan tersebut tidak selalu menjadi bahan pertanyaan masyarakat.
” Memang kalau itu lahan kebun dan sawah memang ada betul, kemudian status legalitasnya dan peraturan untuk memungut lahan desa untuk dijadikan PAD itu belum ada dasarnya, pada awalnya kebun desa itu di peta bertuliskan tanah kolektif namanya, dulu zaman transmigrasi itu dijadikan kandang koloni untuk kandang sapi, setelah bubar itu diserahkan ke desa, tapi tidak ada surat, hanya peta saja, sekarang kami anggap tanah bengkok, harapannya memang kalau bisa ini dibahas kembali,” Ungkap Jus’i kepada batarapos.com.
Bahkan menurutnya, lahan Gereja dan lahan Pura itu dulunya memang pernah dibahas, namun hingga berganti lima kepala Desa, letak lahan itu belum juga terungkap, sebagai Sekdes, dirinya mengaku tidak berwenang untuk mengusut persoalan lahan tersebut, mengingat dirinya masih ada pimpinan yang lebih berhak.
” Dua lahan itu memang pernah dulu dibahas, karena bapak saya mantan Kepala Dusun, tapi setelah itu tidak pernah dibahas lagi, mungkin memang masyarakat mau sekali pertanyakan semua itu tapi karena mungkin juga mereka ada rasa ragu, jadi saya kira ini bagus, supaya ini bisa dibahas kembali, agar status-status dan letak lahan yang dianggap lahan milik desa ini bisa lebih jelas lagi, dan ataukah memang lahan-lahan itu sudah tidak ada supaya kita di desa dan masyarakat bisa lebih menegerti,” Ucapnya.