Bone, batarapos.com – Ditengah situasi kesibukan kebanyakan orang melawan Virus Corona Covid-19, yang melanda Negeri ini, juga telah menjangkau belahan dunia.
Maka tidak terkira lagi, bagaimana keresahan dan kesedihan telah melanda setiap jiwa yang ada. Berbagai macam upaya yang telah di lakukan oleh sejumlah kelompok masyarakat untuk segera melakukan pencegahan guna mengantisipasi meluasnya penyebaran Virus.
Upaya pencegahan yang di lakukan pemerintah Negeri ini, diantaranya menganjurkan masyarakat agar tetap berdiam diri di rumah masing-masing untuk sementara waktu, bahkan larangan melakukan kegiatan secara berkelompok terlebih mengundang keramaian, telah diterapkan.
Akibatnya tidak sedikit masyarakat luas merasa risih oleh pembatasan aktivitas yang sebelumnya sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Bahkan sebahagian meributkan stok bahan pangan yang bergizi untuk tetap menjaga kesehatan, selain itu ada diantara mereka menuntut diberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya.
Tapi tidak dan berbeda seperti yang dirasakan bagi seorang nenek berumur berkisar 70-an bernama Tahe yang tinggal seorang diri, dan bermukim di Dusun Hetei, Desa Wanua Waru, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
Keberuntungan yang nyata memang belum datang menghampiri, setitik keinginannya ingin mewujudkan mimpi serta harapan mendapatkan makanan yang bergizi bahkan memiliki kesejahteraan yang layak untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya telah lama dinantikan nenek Tahe, bahkan telah puluhan tahun sebelum merebaknya Virus Corona (Covid-19).
Jika ditengok, memang benar kondisinya sangat memperihatinkan. Terlebih jika melihatnya secara langsung, tentulah rasa iba terlebih kasihan akan mengetuk hati mulia jiwa-jiwa yang bersosial. Begitu banyak program pemerintah Negeri ini, namun siapa yang menyangka program tersebut tidak pernah menyentuhnya. Sungguhlah bagaikan telah menyayat hati jiwa-jiwa keras dan lemah lembut.
Hal ini diakui oleh warga masyarakat yang juga bermukim disekitarnya, mengatakan nenek Tahe memang tidak pernah mendapat bantuan sama sekali dari program pemerintah.
Padahal rumah pangung berkayu lapuk, berdinding apa adanya dan menempel seadanya, serta beratap sebahagian seng yang telah karatan dan sebahagian lagi beratap daun rumbia yang juga sudah termakan usia.
Kondisinya penuh lubang-lubang kecil bahkan ada yang terbuka lebar menganga. Ketika air langit menetes ke bumi, rintiknyapun jatuh kesamping nenek Tahe seperti bersuara akan selalu menemaninya mengucap doa-doa ayat-ayat suci.
Tiang gubuk istana nenek Tahe seperti tidak kuat lagi menahan beban. Padahal isi barang perabot rumah tangganya adalah barang yang sudah tidak layak pakai lagi. Bahkan dapatlah terhitung oleh jari-jari manusia.
Gubuk peot miliknya, bagi nenek Tahe, adalah istana yang begitu megah. Dan seperti menjadi saksi bisu kehidupan sehari-harinya. Dibawah teduhan terik matahari dan hujan, menyongsong matahari terbit lalu kemudian tenggelam menikmati gelapnya malam hingga membuat matanya tertutup tidur dan terlelap pulas.
Lebih sedihnya lagi, kondisi nenek Tahe sejak empat tahun lalu telah mengalami gangguan penglihatan sehingga membuatnya buta. Dalam mengerakkan tubuhnya untuk melangkah melakukan aktivitas, dilakukan dengan hanya meraba-raba benda disekitarnya dengan tangannya.
Kesehariannyapun hanya berdiam diri dalam rumah seperti yang dilakukan kebanyakan orang saat ini, saat wabah virus melanda negeri tercinta ini.
Namun nenek Tahe selalu mengisinya dengan perintah melaksanakan shalat sembari terus berdoa Kepada Tuhan yang Maha Pencipta, yang dilakukannya sejak bertahun-tahun. “Kapan seluruh program bantuan sosial milik pemerintah itu datang menghampirinya untuk turut mengisi hari-harinya ?”.
Nenek Tahe bercerita, dirinya hidup dan tinggal sebatangkara sejak ditinggal anaknya yang telah meninggal sejak puluhan tahun yang lalu.
“Suami saya telah lama meninggal, yang kemudian juga disusul oleh anak laki-laki saya satu-satunya”, ucap nenek Tahe dalam bahasa bugis.
Nenek Tahe tidak lagi mampu mengurus dan memperbaiki kondisi gubuk peot kediamannya, apa lagi untuk bekerja mencari sesuap nasi, untuk tetap bisa menyambung hidup diusianya yang sudah senja.
Saat ini hanya bantuan uluran tangan dari kerabat maupun masyarakat sekitarnya yang juga tergolong tidak mampu rela dan ikhlas membantunya.
“Terkadang mereka membawakan saya makanan ikan dan sayuran, akan tetapi saya melarangnya (tidak ingin merepotkanya), jadi mereka memberikan kompor gas kecil dan panci untuk saya gunakan untuk memasak”, tuturnya juga dengan bahasa bugis.
Hal tersebut juga dibenarkan beberapa sanak keluarganya, yang selama ini peduli terhadap nenek Tahe, salah satunya bernama Tasma yang kebetulan datang mengantarkan makanan saat batarapos.com menyambangi nenek Tahe.
“Bergantian keluarganya bawakan makanan, sayur, ikan kadang juga dia sendiri (Tahe), yang masak” ujar Tasma.
Keluaga nenek Tahe tersebut menuturkan, bahwa nenek Tahe telah sakit – sakitan, bahkan beberapa waktu yang lalu sempat diantar ke Rumah Sakit Umum di Kabupaten Bone, langsung oleh Kepala Desa Wanua Waru.
“Sempat juga diantar ke Rumah Sakit Umum di Kabupaten Sinjai“, cetus Tasma.
Kepala Desa Wanua Waru Andi Syahrul Ramadhan dalam konfirmasinya kepada media ini, juga mengakui keperihatinanya dan telah lama berperan dalam upaya memberikan perhatiannya.
“Saya pernah antar langsung ambil KTP, Alhamdulillah sudah ada, dan BPJS nya, kalau masalah bantuan, diluar kuasa kami selaku Kepala Desa karena datanya masih data lama, di tingkat pusat“, papar Andi Syahrul Ramadhan, Jum’at (10/4/2020). (Yusri/Zul).