Liputan : Rudini
Morowali, batarapos.com – Ketua Serikat buruh SBIPE-IMIP Henry Demnas menyatakan Seorang buruh nikel di Kawasan Industri IMIP kembali menjadi korban perlakuan semena-mena dari pengawas kerja, Sabtu 05 Juli 2025.
Ervan Apriyanto, anggota Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE-IMIP), mengalami intimidasi dan pelecehan hanya karena menggunakan haknya atas cuti sakit, kejadian ini menambah daftar panjang praktik pelanggaran hak-hak normatif pekerja di kawasan industri yang dikelola dengan investasi asing dan dilindungi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Berawal dari Sakit, Berujung pada Ancaman Sanksi Pada tanggal 29 Juni 2025, Ervan mengalami gangguan pencernaan dan dinyatakan menderita diare oleh dokter, ia menerima obat dan Surat Keterangan Sakit (SKS) untuk istirahat selama sehari, sesuai prosedur perusahaan, ia mengisi formulir izin sakit dan menyerahkannya melalui rekan kerjanya kepada pengawas asal Tiongkok. Namun, yang ia terima justru perlakuan sewenang-wenang.
Pada 2 Juli, Ervan diberitahu bahwa izin sakitnya ditolak karena dianggap “sering sakit-sakitan”. Tak hanya itu, saat mencoba menyerahkan langsung SKS kepada pengawas, ia malah dimarahi dan dokumen izinnya dibuang ke lantai, bahkan, salah satu pengawas lokal, Rivan, meminta Ervan membuat surat pernyataan tidak akan sakit lagi, sebuah permintaan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Pada 4 Juli, Ervan melaporkan insiden itu ke bagian admin disipliner perusahaan sambil menyertakan rekaman video yang merekam perlakuan kasar tersebut, pihak admin mengakui adanya tekanan dari perusahaan untuk menjatuhkan sanksi disipliner, meski secara hukum dan administratif Ervan tak melakukan pelanggaran.
“ Sakit bukan pelanggaran. Itu hak normatif yang dilindungi undang-undang,” Ujar salah satu staf administrasi yang enggan disebut namanya.
Menanggapi kasus ini, SBIPE-IMIP mengeluarkan pernyataan sikap yang keras.
“ Kami mengecam keras perlakuan dari pengawas asing dan pengawas lokal yang memaksakan kehendak melampaui hukum yang berlaku. Ini adalah bentuk kekerasan struktural dan intimidasi terhadap pekerja,” Tegas perwakilan SBIPE.
SBIPE juga menilai kejadian ini sebagai bentuk kerja paksa terselubung, karena pekerja dipaksa bekerja meskipun sakit, dan dilarang mengakses hak dasar mereka, hal ini mencerminkan sistem ketenagakerjaan yang tidak manusiawi dan otoriter di kawasan industri nikel IMIP.
Dalam pernyataannya, SBIPE-IMIP menuntut lima langkah konkret:
- Pemecatan terhadap pengawas asal Tiongkok dan pengawas lokal bernama Rivan.
- Tindakan tegas dari manajemen IMIP terhadap praktik penyalahgunaan wewenang di lapangan.
- Sanksi administratif dari Pemerintah Kabupaten Morowali terhadap PT. LSI/BSI selaku perusahaan tempat Ervan bekerja.
- Pertanggungjawaban dari Pemerintah Pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, atas pelanggaran hak pekerja di proyek strategis nasional.
- Evaluasi total terhadap sistem kerja di industri nikel, terutama yang berada di bawah label PSN.
SBIPE menyerukan dukungan luas dari serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, serta media independen, kasus Ervan dianggap hanya puncak gunung es dari berbagai bentuk represi yang dialami buruh di kawasan IMIP: dihukum karena sakit, dibungkam karena berserikat, dan terus-menerus dieksploitasi dengan dalih pembangunan nasional.
“ Negara seharusnya hadir membela buruh, bukan melindungi kekuasaan modal,” Pungkas SBIPE.